Kamis, 29 Januari 2009

Perjalanan Sultan Hamengkubuwono X

Oleh : Ki Semar
29-Jan-2009, 22:38:10 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Yogyakarta juga merupakan daerah yang tidak mampu ditembus oleh budaya barat, masyarakat Yogyakarta masih berpegang teguh pada sendi-sendi kehidupan etika Jawa.

Dalam sendi kehidupan yang demikian Sri Sultan Hamengku Bowono X dilahirkan, dan dibesarkan. Sri Sultan dilahirkan dengan nama BENDORO RADEN MAS HERJUNO DARPITO pada tanggal 2 April 1946.

Sesuai dengan tradisi yang berlaku di lingkungan Kraton Yogyakarta, maka Sri Sultan mengalami beberapa anugerah nama sesuai tingkat kedewasaan serta trahnya sebagai Putera Mahkota. Beberapa nama yang pernah disandangnya diantaranya: Kanjeng Gusi Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putera Nalendra Mataram. Dan yang sangat penting dalam hidupnya adalah pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan berhak menyandang Gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menggantikan ayahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Disisi pemerintahan Sri Sulta HB X dipercaya untuk untuk menjabat Gubernur DIY sejak 3 Oktober 1998.

Jabatan sebagai Raja di lingkup Kraton Ngayogyakarta serta Gubernur DIY menjadikan Sri Sultan HB X memiki fenomena tersendiri dibanding tokoh Politik dan Pejabat Pemerintah lainnya. Jabatan sebagai Raja di Kraton Ngayogyakarta tidak membuat Sri Sultan membuat mebuat garis pemisah antara dirinya dan rakyat, tetapi justru Jabatan tersebut dijadikan oleh Sri Sultan HB X sebagai tali pengikat antara dia dan rakyatnya. Dari segi Kharisma, jabatan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jauh lebih mendominasi dibanding Jabatan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap seorang Raja jauh di atas Jabatan apapun yang ada di Negeri ini. Termasuk di dalamnya Jabatan Presiden RI sekalipun.

Ditinjau dari fakta yang tertuang diawal tulisan ini maka titik tolak kehidupani Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki kesamaan dengan KH. ABDURRAHMAN WAHID. Perbedaannya hanya terletak pada lingkup dimana 2 tokoh ini di besarkan serta membangun kharismanya. Bila Sri Sultan dibesarkan dan membangun Kharismanya di lingkup Kraton maka KH. Abdurrhaman Wahid dibesarkan dan menggali kharismya di lingkungan Pesantren.

Untuk lebih mengarahkan artikel ini maka sejenak kita analisa siapa KH Abdurrahman Wahid sebenarnya: Gus Dur adalah Putera dari KH. Wahid Hasyim. Dia juga cucu KH. Hasyim Asy’ari. Ayah dan kakek Gus Dur merupakan ulama yang berkharisma sangat besar. Pada awal kiprahnya di Pentas Nasional Gus Dur merupakan sosok yang penuh Pesona. Jabatan sebagai Ketua Umum Nahdataul Ulama periode 1984 sampai 1999 semakin menjadikannya sebagai tokoh yang di segani di Pentas Politik Nasional. Terdorong oleh ambisi pribadi yang terlalu jauh maka Gus Dur mencoba melebarkan sayap di Panggung Politik Nasional. Diawali sebagai salah satu Deklarator PKB Gus Dur semakin berambisi ke jenjang yang lebih tingggi. Jabatan Presiden RI menjadi target utamanya.

Pada titik klimaks inilah kehancuran nama besar Gus Dur bermula. Sebagai pemersatu ummat Islam khususnya Nahdatul Ulama, berubah menjadi tokoh yang justru sering menjadi cikal bakal perpecahan ummat Islam di Indonesia. Banyak sekali Gus Dur melontarkan bola-bola panas di tengah umat Islam. Bila pada awalnya Gus Dur merupakan sosok yang dihormati dan disegani maka saat ini keadaan menjadi bertolak belakang. Gus Dur menjadi tokoh yang sarat dengan makian dan umpatan. Suaranya tak lagi banyak didengar. Dan yang lebih tragis adalah berbagai kecaman pedas, dan hinaan justru banyak datang dari kalangan yang pernah begitu hormat kepadanya.

Gus Dur di ambang kehancuran. Kursi Kepresiden sangat sulit dia raih. Akan kembali ke dunia Nahdatul Ulama, banyak tokoh yang menolaknya. Dalam hal ini jangan mencari siapa yang salah, karena semua dampak dari ambisi Gus Dur yang tak terkendali.

Perjalanan karir Gus Dur nampaknya akan menimpa Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beberapa waktu terakhir ini, Sri Sultan gencar mempersiapkan diri sebagai Capres 2009. Dengan penuh optimisme Sri Sultan banyak turun ke daerah-daerah sebagai barometer awal langkahnya menuju RI 1. Tawaran PDIP untuk kursi Cawapres mendampingi Megawati juga ditolak oleh Sri Sultan. Tekatnya hanya satu : Menjadi CAPRES 2009 bukan CAWAPRES 2009. Kegagalan seta kehancuran GUS DUR tidak menjadi pelajaran yang berarti bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Ada dua definisi kepemimpinan yang terabaikan oleh Sri Sultan HB X dan Gus Dur, yaitu:

Pemimpin Sektoral: Pemimpin yang hadir di lingkup lingkungan tertentu dimana Power Kepemimpinan serta Kharisma yang dimiliki disebabkan oleh faktor darah atau keturunan. Pemimpin dengan kategori ini justru akan menjadi lebih besar bila tetap berada pada lingkungan tersebut. Baik berupa lingkungan Kraton maupun lingkungan Pesantren yang membesarkannya.

Pemimpin Nasional: Pemimpin yang masuk dalam katagori ini adalah seseorang yang membangun Power Kepemimpinan serta Kharismanya berdasarkan apa yang ada pada dirinya, bukan pada faktor ayah, kakek dan lain sebagainya. Bahkan tokoh ini akan lahir dari suatu keluarga yang sangat sederhana dan tidak memiliki power serta kharisma apapun. Power serta Kharisma dia peroleh mengikuti perjalanan hidupnya. Sebagai data real coba kita analisa latar belakang ketiga Presiden ini, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden SBY merupakan tiga figur yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki power dan kharisma. Semua power dan kharisma diperoleh melalui perjuangan bukan warisan.

Sri Sultan Hamengku Buwono tidak akan memperoleh Power serta Kharisma yang demikian apabila dia bukan Putera Hamengku Buwono IX. Dia memiliki Power untuk wilayah Yogyakarta maksimal untuk wilayah Pulau Jawa. Dan dia tidak akan memiliki Power serta Kharisma di luar Pulau Jawa. Andai pun kursi Kepresiden akan berhasil diraihnya, maka selama lima tahun Sri Sultan harus siap untuk menerima berbagai kritik, celaan, demo sampai pada penolakan kedatangannya pada suatu daerah tertentu, dan tidak mustahil hal itu akan datang dari para Mahasiswa UGM yang sering melakukan penolakan atas kedatangan seorang Presiden. Bisa dibayangkan betapa pedih dan tragisnya perasaan Sri Sultan. Tetapi apabila Kharisma Sri Sultan di Yogyakarta tetap tinggi, maka akan terjadi perang saudara antara masyarakat DIY dan masyarakat Propinsi lain apabila terjadi demo dan kritikan terhadap Sri Sultan HB X yang datangnya dari wilayah di luar Propinsi DIY. Perang saudara bukan karena membela seorang Presiden RI, tetapi karena pembelaan terhadap wibawa Raja Kraton Ngayogyakarta. Hal ini tentu menjadi suatu hal yang menyulitkan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri.

Melihat tantangan ke depan, semua akan berpulang kepada diri Sri Sultan Hamengku Buwono X. Satu hal yang perlu menjadi catatan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah karakteristik masyarakat dan pemuda, khususnya para Mahasiswa yang ada di Indonesia adalah Bangsa Indonesia mempunyai ciri khas untuk menghujat Presiden yang berkuasa, tetapi akan memuja bagaikan Dewa bila mantan Presiden telah tiada.


Sri Sultan HB X Santri Politik Gus Dur
Oleh : Ki Semar
29-Jan-2009, 15:50:18 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Yogyakarta merupakan provinsi teristimewa yang memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki daerah-daerah lain. Yogyakarta juga merupakan daerah yang tidak mampu ditembus oleh budaya barat, masyarakat Yogyakarta masih berpegang teguh pada sendi-sendi kehidupan etika Jawa.

Dalam sendi kehidupan yang demikian Sri Sultan Hamengku Bowono X dilahirkan dan dibesarkan. Sri Sultan dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946. Sesuai dengan tradisi yang berlaku di lingkungan Kraton Yogyakarta, maka Sri Sultan mengalami beberapa anugerah nama sesuai tingkat kedewasaan serta trahnya sebagai putera mahkota.

Beberapa nama yang pernah disandangnya diantaranya: Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi, KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putera Nalendra Mataram. Dan yang sangat penting dalam hidupnya adalah pada tanggal 7 Maret 1989 ( Selasa Wage 19 Rajab 1921) dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan berhak menyandang gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Ia menggantikan posisi ayahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di sisi pemerintahan Sri Sultan HB X dipercaya untuk untuk menjabat Gubernur DIY sejak 3 Oktober 1998. Jabatan sebagai raja di lingkup Kraton Ngayogyakarta serta Gubernur DIY menjadikan Sri Sultan HB X memiki fenomena tersendiri dibanding tokoh politik dan pejabat pemerintah lainnya. Jabatan sebagai Raja Kraton Ngayogyakarta tidak membuat Sultan membikin garis pemisah antara dirinya dan rakyat,. Tetapi justru jabatan tersebut dijadikan oleh Sri Sultan HB X sebagai tali pengikat antara dia dan rakyatnya.

Dari segi kharisma, jabatan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jauh lebih mendominasi dibanding jabatan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap seorang raja jauh di atas jabatan apapun yang ada di negeri ini. Termasuk di dalamnya jabatan Presiden RI sekalipun. Di tinjau dari fakta yang tertuang di awal tulisan ini maka titik tolak kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki kesamaan dengan KH Abdurragman Wahid.

Perbedaannya hanya terletak pada lingkup di mana 2 tokoh ini dibesarkan serta membangun kharismanya masing-masing. Bila Sri Sultan dibesarkan dan membangun kharismanya di lingkup Kraton maka KH.Abdurrhaman Wahid dibesarkan dan menggali kharismya di lingkungan pesantren. Untuk lebih mengarahkan artikel ini maka sejenak kita analisa siapa KH Abdurrahman Wahid sebenarnya: Gus Dur adalah putera dari KH Wahid Hasyim. Dia juga cucu KH.Hasyim Asy’ari. Ayah dan kakek Gus Dur merupakan ulama yang berkharisma sangat besar. Pada awal kiprahnya di pentas nasional Gus Dur merupakan sosok yang penuh pesona.

Jabatan sebagai Ketua Umum Nahdataul Ulama periode 1984 sampai 1999 semakin menjadikannya sebagai tokoh yang disegani di pentas politik nasional. Terdorong oleh ambisi pribadi yang terlalu jauh maka Gus Dur mencoba melebarkan sayap di panggung politik nasional. Diawali sebagai salah satu deklarator PKB Gus Dur semakin berambisi ke jenjang yang lebih tingggi. Jabatan Presiden RI menjadi target utamanya. Pada titik klimaks inilah kehancuran nama besar Gus Dur bermula. Sebagai pemersatu umat Islam khususnya Nahdatul Ulama, berubah menjadi tokoh yang justru sering menjadi cikal bakal perpecahan ummat Islam di Indonesia. Banyak sekali Gus Dur melontarkan bola bola panas di tengah ummat Islam. Bila pada awalnya Gus Dur merupakan sosok yang dihormati dan disegani maka saat ini keadaan menjadi bertolak belakang.

Gus Dur menjadi tokoh yang sarat dengan makian dan umpatan. Suaranya tak lagi banyak didengar. Dan yang lebih tragis adalah berbagai kecaman pedas, dan hinaan justru banyak datang dari kalangan yang pernah begitu hormat kepadanya. Gus Dur diambang kehancuran. Kursi Kepresiden sangat sulit diraih. Akan kembali ke dunia Nahdatul Ulama, banyak tokoh yang menolaknya. Dalam hal ini jangan mencari siapa yang salah, karena semua dampak dari ambisi Gus Dur yang tak terkendali. Perjalanan karir Gus Dur nampaknya akan menimpa Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beberapa waktu terakhir ini, Sri Sultan gencar mempersiapkan diri sebagai Capres 2009. Dengan penuh optimisme Sri Sultan banyak turun ke daerah-daerah sebagai barometer awal langkahnya menuju RI 1. Tawaran PDIP untuk kursi Cawapres mendampingi Megawati juga ditolak oleh Sri Sultan. Tekatnya hanya satu: menjadi Capres 2009 bukan Cawapres 2009. Kegagalan seta kehancuran Gus Dur tidak menjadi pelajaran yang berarti bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ada 2 definisi kepemimpinan yang terabaikan oleh Sri Sultan HB X dan Gus Dur yaitu:Pemimpin sektoral: pemimpin yang hadir di lingkup lingkungan tertentu dimana Power Kepemimpinan serta Kharisma yang dimiliki disebabkan oleh faktor darah atau keturunan. Pemimpin dengan katagori ini justru akan menjadi lebih besar bila tetap berada pada lingkungan tersebut. Baik berupa lingkungan Kraton maupun lingkungan Pesantren yang membesarkannya. Pemimpin nasional: pemimpin yang masuk dalam katagori ini adalah seseorang yang membangun Power Kepemimpinan serta Kharismanya berdasarkan apa yang ada pada dirinya, bukan pada faktor ayah, kakek dan lain sebagainya.

Bahkan tokoh ini akan lahir dari suatu keluarga yang sangat sederhana dan tidak memiliki power serta kharisma apapun. Power serta kharisma dia peroleh mengikuti perjalanan hidupnya. Sebagai data real coba kita analisa latar belakang 3 presiden ini, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden SBY merupakan 3 figur yang berasal dari kekuarga yang tidak memiliki power dan kharisma. Semua power dan kharisma diperoleh melalui perjuangan bukan warisan. Sri Sultan Hamengku Buwono tidak akan memperoleh power serta kharisma yang demikian apabila dia bukan Putera Hamengku Buwono IX. Dia memiliki power untuk wilayah Yogyakarta maksimal untuk wilayah pulau Jawa. Dan dia tidak akan memiliki Ppwer serta Kharisma di luar pulau Jawa. Andaipun kursi kepresidenan akan berhasil diraihnya, maka selama 5 tahun Sri Sultan harus siap untuk menerima berbagai kritik, celaan, demo sampai pada penolakan kedatangannya pada suatu daerah tertentu, dan tidak mustahil hal itu akan datang dari para mahasiswa UGM yang sering melakukan penolakan atas kedatangan seorang Presiden.
Bisa di bayangkan betapa pedih dan tragisnya perasaan Sri Sultan.

Tetapi apabila kharisma Sri Sultan di Yogyakarta tetap tinggi, maka akan terjadi perang saudara antara masyarakat DIY dan masyarakat Propinsi lain apa bila terjadi demo dan kritikan terhadap Sri Sultan HB X yang datangnya dari wilayah diluar Propinsi DIY. Perang saudara bukan karena membela seorang Presiden RI tetapi karena pembelaan terhadap wibawa Raja Kraton Ngayogyakarta. Hal ini tentu menjadi suat hal yang menyulitkan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri. Melihat tantangan ke depan, semua akan berpulang kepada diri Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Satu hal yang perlu menjadi catatan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah karakteristik masyarakat dan pemuda khususnya para mahasiswa yang ada di Indonesia adalah: bangsa Indonesia mempunyai ciri khas untuk menghujat presiden yang berkuasa, tetapi akan memuja bagaikan dewa bila mantan tersebut Presiden telah tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar