Sabtu, 31 Januari 2009

Januari, Bulan Penting Dan Kritis Bagi Sultan

Januari, Bulan Penting Dan Kritis Bagi Sultan
Oleh Prayitno Ramelan - 18 Januari 2009 - Dibaca 471 Kali -

Tadi malam penulis menghadiri undangan seorang sahabat dalam acara yang berjudul MEOK (Makan Enak Omong Kosong), makan nasi uduk dan ribs yang enak sekali dan cerita-cerita omong kosong. Pada acara tersebut penulis bertemu dengan Guntur Soekarnoputra yang menyanyikan sebuah lagu dari Afrika Selatan, dan yang hebatnya Mas To, begitu Guntur biasa disapa masih mampu memainkan gitar dengan piawai.

Penulis saat diberi kesempatan naik panggung, sebelum menyanyikan sebuah lagu dengan judul “There Goes My Everything” , menyampaikan sedikit analisa kepada Mas To, bahwa secara personal saat ini memang elektabilitas SBY berada diatas Mega. Akan tetapi begitu kedua tokoh tersebut dipasangkan dengan cawapres tertentu, apabila Mega mampu memilih pendampingnya yang tepat peluangnya masih besar untuk menang. Meok tadi malam ternyata berlanjut didalam sebuah renungan hingga menjadi sebuah artikel yang merupakan perkembangan dari Mega-Buwono.

Pagi ini banyak diberitakan oleh media massa bahwa tokoh PDIP Taufik Kiemas, suami Mega pada hari Jumat (16/1) telah melakukan pertemuan empat mata selama dua jam dengan Sri Sultan di Sleman, Yogya. Pihak PDIP menjelaskan melalui Effendy Simbolon bahwa pertemuan berlangsung saat kedua tokoh tersebut menghadiri acara temu Alumni dan Dies Natalis UII Yogya. Effendi menjelaskan mahwa pertemuan empat mata itu juga memperbincangkan tentang rencana kedepan terkait hubungan Megawati dengan Sri Sultan dalam Pilpres 2009. Pembicaraan lainnya terkait dengan pemahaman bersama tentang bagaimana melihat keutuhan bangsa dan negara serta pemahaman sejarah masing-masing.

Baik TK maupun Sultan berdiskusi dengan visi masing-masing serta adanya “sharing” masalah yang membelit bangsa ini. Langkah kearah duet Megabuwono dikatakannya sudah semakin mengerucut, walaupun belum dideklarasikan. “Pak Taufik berpesan agar Sultan tetap berada di Partai Golkar, dan ini semacam tahapan finishing touch saja, tanpa mengabaikan calon-calon yang lain” kata Effendi Simbolon. Selanjutnya dikatakannya bahwa Ibu Mega dan Sultan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat, cara pandang mereka sama tentang pemerintahan saat ini yaitu pemerintah yang sekarang sudah tidak bisa diandalkan lagi.

Pertemuan antara TK dengan Sultan tidak akan berhenti sampai disitu saja, tetapi akan terus dilakukan dengan intensif. PDIP dikatakannya akan tetap melakukan pertemuan dan menjalin komunikasi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk dengan tokoh-tokoh yang dinilai memiliki potensi sebagai pendamping Mega. PDIP ingin tetap mencari figur yang ideal. Selain Sultan dikatakan oleh Effendi bahwa ada banyak tokoh lain yang masuk daftar buruan PDIP untuk menjadi pendamping Mega. Diantaranya Hidayat Nur Wahid, Akbar Tanjung, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryakudu, Jimly Ashiddiqie dan Din Syamsuddin.

Dilain sisi, kubu pelangi sebagai pendukung Sultan, melalui Franky Sahilatua sebagai anggotanya, mengatakan pertemuan hanya membicarakan kondisi kebangsaan dan bagaimana memperbaiki bangsa ini. Dalam pertemuan tidak dibahas soal kemungkinan duet Mega-Sultan, karena Sultan tetap berkomitmen untuk membahas soal cawapres usai pemilu legislatif. Diakuinya akan ada pertemuan selanjutnya.

Dari penjelasan kedua belah pihak, terlihat bahwa nampaknya PDIP mencoba mendapatkan pandangan langsung dari salah satu cawapres yang dibidiknya. Sri Sultan walaupun masih sebatas figur tanpa dukungan kuat parpol besar kini dengan elektabilitasnya yang cukup tinggi merupakan tokoh yang diburu oleh beberapa elit parpol. Setelah Sukmawati yang mencoba mendekatinya, maka kini PDIP yang nampakya “dikejar waktu” akan Rakernas akhir Januari ini mencoba mendekatinya. TK sebagai ujung tombak terdepan PDIP dalam urusan cawapres telah mencoba turun langsung melobi Sultan, nampaknya akan ada pertemuan selanjutnya. Melihat penjelasan anggota tim pelangi Franky Sahilatua, ada sedikir “barrier” dipihak Sultan yang dikatakannya bahwa Sultan akan membicarakan soal cawapres seusai pemilu legislatif.

Dengan demikian, nampaknya Sultan akan melihat hasil pemilu legislatif dari beberapa parpol besar, menengah ataupun Partainya Golkar, khususnya posisi yang menguntungkan pihaknya. Disamping itu Sultanpun kelihatannya akan terus menaikkan elektabilitasnya. Apabila nanti seusai pemilu dan menjelang pilpres posisinya tidak memungkinkan untuk tetap menjadi capres, Sultan kelihatannya akan menurunkan posisi politiknya menjadi cawapres.

Dari hitung-hitungan politik, sebenarnya akan lebih menguntungkan bagi Sultan apabila kini menerima “pinangan” PDIP sebagai cawapresnya Mega. Karena gambaran beberapa hasil survei, kemungkinan besar pada pilpes nanti yang maju hanya dua capres SBY dan Mega. Parpol lain yang berpeluang mengajukan capres adalah Golkar. Apabila ingin menggunakan kendaraan Golkar, Sultan harus mampu dahulu mengalahkan dominasi faksi pendukung JK. Ini berarti medan tempurnya menjadi dua, ditubuh Golkar dan kemudian di Pilpres, enersi yang dibutuhkan akan sangat besar.

Sementara ini posisinya di Golkar dinilai kurang begitu kuat. Bulan ini adalah bulan yang kritis bagi Sultan, beliau harus memutuskan segera, karena PDIP akan membahas dengan serius pendamping Mega pada akhir bulan, bahkan akan memutuskan. Dalam sebuah pertarungan perebutan simpati rakyat, parpol, para capres dan cawapres sebaiknya jangan berspekulasi, kalkulasi sebaiknya dilakukan dengan dasar elektabilitas, hindari informasi “semu” tidak berdasar yang justru sering menjerumuskan. PDIP sebaiknya tidak mengambil Cawapres yang elektabilitasnya rendah, terlebih yang belum mempunyai nilai elektabilitas. Hasil beberapa Lembaga survei sebaiknya dijadikan sebagian dasar pertimbangan, khususnya dalam pengambilan keputusan, karena itulah sarana terbaik dari sebuah pilpres.

Maka, alternatif terbaik Sultan adalah bergabung dengan Mega, dengan tetap menjadi tokoh di Golkar. Artinya, apabila nanti Golkar lepas dari Partai Demokrat dan tidak mengajukan capresnya sendiri, maka besar kemungkinan Golkar akan berpaling ke Sultan. Apabila Sultan bersama Mega, peluang Mega-Buwono sangat besar akan memenangkan pilpres. Pilpres bukanlah persaingan partai, partai adalah kendaraan pengusung dalam memenuhi persyaratan UU Pilpres, inti dari pilpres adalah penilaian publik terhadap figur capres dan cawapres. Dari hasil survei Lembaga Survei Nasional pada tanggal 10-20 Desember 2008 , didapat data bahwa Mega-Buwono apabila pilpres dilakukan bulan Desember mampu mengalahkan pasangan SBY-JK dengan angka 44,8% - 39,1%. Data ini sebuah awal yang sangat baik bagi Mega-Sultan.

Apabila keduanya gagal disandingkan, maka terdapat dua calon yang sudah siap sebagai calon alternatif yang dinilai terbaik sebagai pendamping Mega, yaitu Hidayat Nur Wahid, Prabowo. Keduanya sudah memiliki elektabilitas dan didukung parpol yang kemungkinan akan berada dipapan tengah. Jadi kesimpulannya apabila peluang dari PDIP diambil, PDIP dan Sultan akan sama-sama untung, apabila peluang ditolak, Sultan mungkin tidak akan mendapat apa-apa pada Pilpres nanti. Oleh karena itu bulan ini dapat dikatakan sebagai bulan yang sangat penting, kritis dan harus dihitung benar oleh ”Ngarso Dalem” dan Tim Pelangi. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.

Megabuwono, Megawati-Hamengku Buwono

Oleh Prayitno Ramelan - 17 Desember 2008 - Dibaca 1484 Kali -

“Megabuwono” adalah gabungan nama dari Megawati dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Model gabungan nama tersebut setahun terakhir sangat umum dipergunakan oleh pasangan “petarung” yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah agar mudah diingat para konstituen, seperti KAJI, HADE, KARSA dan lainnya.

Kata Megabuwono disampaikan oleh Ketua Fraksi PDIP Tjahyo Kumolo pada saat peresmian prasasti telapak tangan dan kaki mantan presiden di Taman Pintar Yogyakarta. Menurut Tjahyo, berdasarkan hasil jajak pendapat internal yang dilakukan DPP PDIP akhir November 2008, Sri Sultan menempati urutan teratas sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri pada Pemilihan Presiden 2009 nanti. Karena itu, menurut Tjahjo, Sultan secara khusus diundang dalam peluncuran buku “Mereka Bicara Mega” beberapa waktu yang lalu. “Kita tetap akan melihat gelagat perkembangan dan kita tunggu bagaimana sikap Sultan. Apakah beliau nanti akan punya kendaraan (partai pengusung) sendiri atau tidak,” ujarnya.

Menurut Tjahjo,respons Sultan sudah terlihat bagus dan tampak politis. Selain Sultan, jajak pendapat juga memunculkan nama-nama alternatif untuk mendampingi Megawati. Mereka adalah Hidayat Nur Wahid, Wiranto, Prabowo, dan Jusuf Kalla. Lima nama itu menyisihkan 12 nama lain yang diajukan dalam polling.

Sri Sultan Hamengkobuwono IX beberapa waktu terakhir telah melakukan langkah politis yang banyak menuai pro kontra, ketidakhadiran Sultan dalam pertemuan raja-raja Nusantara dengan Presiden SBY di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (29/11). Saat itu, Sultan mengaku tidak datang karena tidak diundang. Berikutnya Sultan juga tidak hadir pada rapat koordinasi para kepala daerah yang dipimpin Presiden SBY di Jakarta, Jumat (12/12). Saat itu Presiden SBY sempat menyindir ketidak hadiran sejumlah gubernur, diantaranya Sri Sultan dan Gubernur Aceh.

Kelima nama-nama tersebut akan dibahas pada Rakernas PDIP di Solo pada 26-28 Januari 2008, dimana PDIP akan melihat elektabilitas masing-masing calon yang disaring. ‘’Sultan lahir di Yogya,Mbak Mega juga lahir di Yogya, sehingga untuk visi Indonesia ke depan saya kira akan sangat cocok,’’ paparnya. Walaupun Sultan saat akan meninggalkan acara mengatakan belum ada pembicaraan, dan dialog, kelihatannya posisinya sudah sangat menarik perhatian PDIP.

Kini PDIP dalam langkah politisnya sebaiknya berkonsentrasi kepada pemilu legislatif,apabila perolehan suaranya bisa mencapai 20% suara nasional, maka langkah selanjutnya akan lebih mudah dilalui. Untuk pemilihan pendamping Megawati, kekuatan calon akan sangat tergantung kepada nilai elektabilitasnya, rasa suka dan tidak suka sebaiknya di singkirkan, realita harus lebih dikemukakan. Inilah politik, kelihatannya semakin hari “Megabuwono” akan mempunyai kekuatan tersendiri. Jangan disepelekan gabungan ini, karena mayoritas konstituen ada di pulau Jawa bukan. Demokrat sebaiknya lebih berhati-hati menangani pasangan ini yang apabila ditekan justru akan semakin menaikkan popularitasnya. Kini para pemilih lebih terfokus kepada personalitas dan realitas, mereka akan memilih kira-kira siapa yang akan dapat mensejahterakan mereka, itulah yang disebut kekuatan pengaruh ekonomi kerakyatan. Kita lihat perkembangan baru yang menarik ini.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana.

Share on Facebook

34 tanggapan untuk “Megabuwono, Megawati-Hamengku Buwono”

1. Rukyal Basri,
— 17 Desember 2008 jam 7:58 am

Pak Pray, megabuwono mungkin sebuah strategi, tetapi agaknya akan jadi fatamorgana. Karena renstra tim pelangi dibawah pak sukardi rinakit memang memiliki banyak warna, dan terlihat indah seperti pelangi. Kalau keinginan pdip sih,so pasti, kepingin, tapi sri sultan tetap akan jinak jinak merpati, menghadapi kerlingan senyum ‘pilih pilih tebu’ bu mega. Dan sementara tekanan sby terhadap sri sultan, disisi lain, akan membuat sri sultan makin terkondisikan’ teraniaya’ dan suatu saat nanti, pak jk, ’sang kuncen’ pun akan luluh hatinya. Bagaimanapun sultan adalah kadernya pak jk. Mari pasang mata dan teling kemana sri sultan tanggal 1 muharram nanti, sekitar 28 desember.
2. prayitno ramelan,
— 17 Desember 2008 jam 8:11 am

Pak Rukyal, terima kasih, ya isa saja itu merupakan sebuah fatamorgana. Tetapi perlu dilihat oleh Sultan dan tim suksesnya dan “the man behind Sultan”, bahwa PDIP ini adalah partai papan atas. Sulit sekali seseorang walaupun dia dekat dengan PDIP kemudian masuk menjadi nominator pendamping “ratunya” itu. Saya kok berfikir bahwa Golkar masih akan tetap bertahan pada posisinya bergandeng tangan dengan Demokrat, kecuali perolehan suaranya menurun banyak, disitulah kekuasaan JK sebagai ketua umum akan digoyang, seperti kasus Akbar Tanjung. Politik tidak mengenal belas kasihan bukan, dia panglima kini, tapi politik bisa sangat kejam, hanya mikir untung rugi…he, he,he seperti kapitalis ya. Jadi Sultan menurut saya peluangnya jauh lebih besar di PDIP, kalau mau maju lewat Golkar…wah sandungannya banyak, sejarah juga berbicara bahwa yg namanya Sultan berada diposisi kedua, sebagai pengayom, penenteram, kan katanya raja jawa itu sakti bukan Pak Rukyal?Salam>Pray.
3. abdidalem,
— 17 Desember 2008 jam 8:45 am

Jangan cepat - cepat menarik kesimpulan,ingat kata pak Rusdini,politik itu akal akalan.
Tapi saya setuju MegaBuhono,sebab Sultan selama ini belum punya cacat politik.
Menurut saya,Nama Sultan lebih Populer dibanding kebesaran Golkar ( ini dimata saya lo ,maaf bila salah ). Jadi Maju terus MEGABUWONO.
Saya masih yakin dengan Sultan dibanding dengan cawapres yang lain,matur nuwun.
4. Fadli,
— 17 Desember 2008 jam 9:39 am

Belajar dari kegagalan Mega di tahun 2004 yg berpasangan dengan Hasyim Muzadi yg relatif kuat di pulau Jawa terutama di Jawa Timur. Sekarang jika Mega memilih Sultan, saya terus terang ragu. Mungkin memang di Jogja bisa mencapai 100% perolehan suara, tetapi apakah didaerah lainpun demikian? Saya kurang yakin image Sultan mengakar di Jawa Timur misalnya apatah lagi di Jawa Barat dan Jakarta. Dan, terus terang tidak ada prestasi yg gemilang dari kepemimpinan sultan di Jogja yg bisa membuat pemilih di daerah lain tertarik. salam.
5. Mulyono,
— 17 Desember 2008 jam 10:22 am

Pak Pray, kalau melihat intrik ‘the man behind’ Sultan, agaknya bukan Mega Buwono yang akan maju. Sultah sendiri juga agak pilih-pilih partner untuk jadi presiden. Walaupun Tjahjo sudah ngomong demikian.

beberapa orang di balik sultan sudah mulai lirik-lirik dengan tokoh dari jawa timur untuk mendampingi sultan. setelah rusuh2 di partainya…
6. prayitno ramelan,
— 17 Desember 2008 jam 10:24 am

@Mas Abdidalem,kemungkinan besar anda orang yogya ya?? Abdidalem biasanya setia sekali kepada rajanya, di gaji berapapun dia tetap setia, seperti keyakinan Mas abdidalem ini terhadap Sri Sultan. Tks sudah bergabung dan memberi tanggapan…Salam >Pray.

@Mas Fadli, mengenai pilihan dari PDIP jelas tidak begitu saja diputuskan, pasti menggunakan ukuran yg realistis, yaitu survei, walaupun masih bersifat persepsi publik, dengan penyimpangan antara 2-3% maka parpol akan mempunyai pegangan dalam menentukan strategi. Tolong jangan melihat asal Sultan saja, dalam politik yg dilihat adalah nilai elektabilitasnya, ini akan menentukan perolehan suara gabungan capres dan cawapres. Kan ini juga baru dilempar ke publik oleh Mas Tjahyo Kumolo, sekaligus untuk melihat reaksi publik, Gitu ya, nanti kita ikuti perkembangannya, ini menarik karena Mega adalah pesaing SBY terdekat dan Sultan juga elektabilitasnya sudah cukup tinggi. Tks, tanggapannya, Salam>Pray.
7. Prayitno Ramelan,
— 17 Desember 2008 jam 11:02 am

Mas Mulyono, “the man behind Sultan” kelihatannya cenderung tuh ke arah Mega, karena kan tidak mungkin Sultan gabung dengan SBY…sudah ada perang kecil-kecilan, jadi tokoh tsb juga pasti akan memilih kekuatan kedua atau pesaing yg mungkin mengalahkan SBY kan. Sunardi Rinangkit sbg salah satu pemikir poitik tim pelangi saya kira juga berfikir demikian, untuk apa berfikir dengan ambisi terlalu besar kedepan kalau jadi orang kedua lebih pasti. Gitu Mas Mul saya kira….kok faham sekali dengan tokoh Jatim itu? Mengikuti terus ya…Salam>Pray.
8. Koeswinarno,
— 17 Desember 2008 jam 11:06 am

Saya kira, amat disayangkan jika Sultan menjadi Wapres, karena sebenarnya memiliki kans yang sama. Mengapa? Sebab sebenarnya Mega sudah mulai meredup, dan jika dilawankan dengan SBY ‘pasti’ kalah. Nah…manuver PDIP lah yang kemudian berupaya mengangkat nama Mega dengan ‘nama’ yang sedang bersinar. Dan begitulah politik, sehingga bicara dengan orang politik ‘hampir pasti’ tidak pernah berbicara atas dasar kejujuran, kecuali bagaimana meraih kekuasaan semata.
Jika Sultan menjadi Wapresnya Mega…..kok ya hanya sebegitu Sultan? You hanya menjadi mesin suara PDIP aja. Ya toh?
9. Suroto,
— 17 Desember 2008 jam 11:10 am

Salam Pak Pray,
Kalo saya berfikir sekarang jangan berandai andai , maksimalkan Pemilu Legislatif dulu PDIP partai yang besar harus kuasai TRIK-TRIK pemenangan Pemilu jangan sampai kecolongan seperti pada Pemilu 2004.Dalam kasak kusuk Cawapres lebih baik PDIP gandeng partai yang solid jangan dengan partai yang ECEK-ECEK,menurut saya lebih baik gandeng partai Golkar dan dikomandoi oleh Surya Paloh bukan JK.Selamat bekerja aku ikut membantumu PDIP. tks
10. Yusgiantoro,
— 17 Desember 2008 jam 11:18 am

Kalau sampai sultan jadi wapres amatlah bodoh…. masa raja di bawah perempuan gimana kata orang jogja
11. ali nurdin,
— 17 Desember 2008 jam 11:22 am

Mungkin ada baiknya kita berkaca dari pengalaman Megawati jadi presiden yg lalu saya pikir ngga ada prestasi yg gtu nonjol ,bukannya menganggap enteng tetapi saya rasa ibu mega tidak punya taring untuk dunia international.Terbukti malaisya aja berani mencaplok ambalat dari pangkuan RI.Menurutku ada baiknya ibu mega ngga mencalonkan diri deh jadi presiden,kita butuh presiden yg punya keberanian dan nyali besar untuk membangun indonesia selain itu saya mengganggap kapasitas seorang presiden secara individu harus mendukung juga dari segi keilmuan/pendidikan,visi,wibawa maupun keberanian yg tinggi.Lihat soekarno sangat diesegani diluar negeri.Bangsa ini bangsa yg besar sebenarnya karena itu kita butuh pemimpin yg mampu memperlihatkan dan mengangkat citra bangsa kita,bukan ngemis ama negara2 lain.Semua ini ibu mega tidak memiliki saya kira..masyarakat sekarang sudah pintar menilai org…Saya pribadi sangat mendambakan presiden kita nantinya berani kayak presiden iran yg sekarang…
12. Abi Hasantoso,
— 17 Desember 2008 jam 12:57 pm

Pak Prayit,

Sri Sultan pantas untuk kursi RI 1.

Bukan untuk RI 2.

Makanya, dia pilih jalannya sendiri karena partainya tak punya nyali.

Sri Sultan akan memilih siapa yang layak mendampinginya nanti. Pastinya bukan Ibu Mega.

Menjadi menarik, siapa yang akan menduduki kursi cawapres mendampingi capres Sri Sultan.

Indonesia, saat ini, membutuhkan perubahan. Membutuhkan pemimpin yang sangat mengerti kondisi paling nyata rakyatnya…. Bukan pemimpin yang suka tebar…paku di jalanan….

:)
AH
13. mahendra,
— 17 Desember 2008 jam 2:33 pm

siapapun wakilnya kalau presidennya megawati saya tidak setuju sekali!! anda tau sendirilah megawati itu orangya seperti apa?? meskipun tadinya saya salut dengan sultan HB X tapi kalau dia berpasangan dengan megawati (cawapres), saya jadi tidak respek lagi. tapi klo dibalik (BUWONOMEGA) itu saya rasa cool!. sultan sendiri bilang katanya maunya capres, bukan cawapres, gmn nich sultan??
14. Prayitno Ramelan,
— 17 Desember 2008 jam 3:35 pm

Yth Para penanggap, jadi rame ya tanggapannya, wah kok jadi pada tidak terima kalau Sri Sultan jadi Cawapres? Mari kita bahas….sambil minum kopi…tapi tanpa rokok ;

@Mas Koeswinarno, kalau dilihat kasat mata, saya setuju Sultan katanya kansnya sama dengan Mega, tapi kalau dilihat dari ukuran hasil survei ttg elektabilitas, maka kedudukan Sultan berada dibawah Mega, bahkan dibawah Prabowo. Nah konsep Megabuwono ini adalah konsep dari PDIP yg dari hasil jajak yg dilakukan oleh internal Partai, dimana Sri Sultan menempati ranking teratas sebagai pendamping Mega dibandingkan Hidayat NW, Prabowo, Wiranto, JK. Itulah politik Mas Koes, kadang yg terjadi sering tidak sesuai dengan harapan banyak pihak, ini adalah masalah kekuasaan, jadi harus pinter dan harus direbut. Gitu Ya…Salam nih>Pray.

@Mas Suroto, salam balik juga. Iya betul saya juga setuju, pemilu legislatif sudah yg paling dekat, parpol harus fokus, urusan pilpres digarap paralel, tapi dahulukan pemilu. Kok bilangnya Golkarnya Surya Paloh bukan Golkar JK?? Memang ada dua Golkar…Maaf saya kurang jelas. Mungkin berkaitan dengan gerakan SP yg mendekat ke PDIP ya? Yah, kita lihat saja nanti ya. Tks tanggapannya.>Salam>Pray.

@Mas Yusgiantoro, orang Yogya ya?, tapi ini kan baru pelemparan ide dari PDIP, kita tunggu perkembangannya. Tks tanggapannya.Pray

@Mas Ali Nurdin, boleh saja kok berpendapat begitu…tapi ini panggung politik, dimana banyak warga yg mudah terhipnotis, karena itu parpol2 harus pintar menjual calon2nya>Salam>Pray

@Mas Abi Hasantoso yg anti paku…memang yg terbaik kalau setelah pemilulegislatif nanti Golkar perolehan suaranya tinggi, elektabilitas Sri Sultan juga cukup tinggi dan dipandang pantas bersaing dengan SBy, saya kira Golkar akan mencalonkan Sultan. Jadi kini bagaimana caranya tim sukses Sultan menaikkan popularitasnya, hingga rakyat berpendapat sama dengan Mas Abi, Sultan baru akan maju sebagai capres. Gitu Mas Abi. Salam dari saya yg juga anti tebar paku.Pray.

@Mas Mahendra ternyata pendukung habis Sultan nih….biar lebih ok nama gabungannya SULMEGA saja. Tks ya.
15. sadewo,
— 17 Desember 2008 jam 5:26 pm

Mega dan Sultan bukan product sold by itself, artinya dua-duanya butuh mesin politik. saya ngga yakin dengan mesin politik keduanya. Baik PDIP maupun Pelangi tidak terbukti mampu mengangkat citra keduanya. Apalagi bila nanti “dipaksa” berduet, pasti di lapangan nanti akan timbul banyak friksi.
Dalam sebuah perbincangan dengan seniman musik yang sering menyayikan lagu tentang sultan, saya pernah usul, kalo HBX mau maju, wakilnya harus AP the president maker, tapi kalo bukan AP ya sebaiknya si Rajawali, cuma ya itu baik dengan AP atau PS yang pasti sultan hanya simbol yang memang oleh tuntutan jaman, hari ini dibutuhkan.
Saya orang jogja, dan justru karena orang jogja, saya tidak yakin akan kemampuan HBX dalam konteks memanage pemerintahan. Sebagai simbol, ya saya YAKIN, tapi butuh arsitek yang harus mengerjakan tugas teknisnya. Bukan model JK hari ini yang selalu ngelak disebut the real Presiden, sementara SBY (paling ngga timya) juga melakukan pengelakan yang sama.
Kalau bicara soal Mega, ya maaf seribu maaf, dari pada Taufik Kiemas jadi RI1 memang lebih baik Mega. Tapi kalau Mega biso rumongso, mending mundur tanpa kawirangan, kalah tanpo kasoran, madheg pinanditha.
Tapi apapun itu, pion politik tetaplah budak dari angkara kepentingan, sehingga mari kita duduk dan perhatikan setiap langkah dan permainan para aktor sandiwara dengan lakon “PEMILU 2009″
16. Prayitno Ramelan,
— 17 Desember 2008 jam 7:35 pm

Mas Sadewo piyantun Yogya…terima kasih tanggapannya. memang sulit ya membahas sebuah dinamika politis, sama-sama separtai saja kadang banyak yg berbeda pendapat. Tapi saya menghargai tanggapannya, yg akan banyak dibaca oleh blogger dan pembaca Kompasiana. Barangkali nanti ada yg menanggapi, karena rata-rata yg dari suku jawa selalu mendukung Sri Sultan menjadi Nomor satu. Baru kali ini ada yg positif menolak. Tapi boleh juga kok argumentasinya, tetap didalam koridor sebagai bahan diskusi. Kalau Mega, itu keinginan Partainya, karena memang belum ada kader yg namanya bisa melebihi Mega, sehingga Mega yg menurut panjenengan sebaiknya mandheg pinanditha terpaksa kembali harus turun gunung…itulah politik. Salam>Pray.
17. Wong Ndeso,
— 17 Desember 2008 jam 9:09 pm

aku dukung SULTANMEGA..!!!
18. Wong Ndeso,
— 17 Desember 2008 jam 9:20 pm

Mas, menurutku didalam tubuh Golkar maupun rakyat, Sri Sultan lebih bisa diterima menjadi Capres daripada JK, hal ini akan diuji saat pasca pemilu legislatif. Prediksi saya Golkar akan turun perolehan suara dan posisi JK akan terdepak…so Sri Sultan lah yang akan ambil kendali partai maupun Presiden NKRI ke depan..

Saatnyalah..negara ini lepas dari ancaman disintegrasi bangsa…MERDEKA..!!!
19. boetje saubaki,
— 17 Desember 2008 jam 9:45 pm

saya berpendapat mungkin lebih “laku” kalau PDIP koalisi dengan PKS untuk pilpres 2009 yad tanpa menunggu hasil pemilu legislatif april 2009, karena Pak Hidayat Nurwachid adalah tokoh politik yang bersih dan pemilih PKS juga cukup potensial, coba lihat di beberapa pilkada yang diusung oleh PKS khan pada menang.
20. Dicky Saputra,
— 17 Desember 2008 jam 11:43 pm

Salam sejahtera untuk semua penCINTA Indonesia :)

Maaf kalo saya gak sepakat dengan anda semua :) Hitung-hitung pake kalkulator politik Indonesia sangat sulit menang Jawa-Jawa (mohon maaf bukan SARA) Bagaimanapun sentimen Jawa luar Jawa harus dipake kalo mau menang, kecuali… kematangan suatu partai or apalah namanya bisa meyakinkan orang diluar Jawa mereka akan terwakili oleh pasangan tersebut. Atau “memaksa” masyarakat untuk memilih apa yang sudah ditentukan partai. :)

Megabuwono bisa menjadi pasangan yang kuat jika PDIP dan Golkar bersatu dalam mendukung pasangan tersebut, jika tidak pasangan ini hanya sebagai penambah jumlah pasangan presiden yang ada (maksdunya rame-ramein) :)

Saya masih memprediksikan pasangan yang muncul :
1. SBY - HNW
2. Sultan - JK (Sesuai masukan Mas kemarin)
3. Megawati - Prabowo or Wiranto

Inilah pasangan yang dalam hitungan saya lumayan memusingkan pengamat politik terlebih Lembaga Survey :)

Kalo bukan pasangan ini yang muncul, maka sebelum pencoblosan kita sudah tau siapa yang keluar sebagai pemenang. :)

Kecuali…munculnya siKUDA HITAM :)

Salam dari Ujung Barat Indonesia (Aceh)
:)
21. Abi Hasantoso,
— 18 Desember 2008 jam 12:32 am

Bang Dicky Saputra, sulit rasanya HNW bakal jadi cawapres.

Apalagi HNW bisa jadi capres.

Di tengah masyarakat Indonesia yang tergila-gila sinetron dan telenovela, masih banyak “perempuan Indonesia yang hatinya tersakiti” dan tidak dapat menerima pernikahan kedua HNW saat makam istri pertamanya masih bertanah merah. Berapa banyak di antara kaum perempuan yang mau memilih dia? Ketua MPR RI sudah cukuplah untuk HNW.

Menurut pendapat saya, saat ini masih belum ada tokoh Islam yang kuat sekaliber Gus Dur dan diterima semua kalangan untuk menjadi pemimpin nasional.

Jadi, 2009 giliran Sri Sultan membawa perubahan…. Dan biarkan Sri Sultan sendiri yang menentukan siapa yang akan mendampingi dirinya. Tak usahlah dipaksakan dipasangkan dengan Keliek Pelipur Lara yang juga asli Yogya….

:)
AH
22. prayitno ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 6:38 am

@Wong Ndeso ini pendukung Sultan ya?. Ya boleh saja kok, tapi maunya SultanMega, wah bagaimana kan PDIP maunya Mega-Sultan ?.Terus meramal Golkar akan turun perolehan suaranya, Sultan jadi Ketum, dan jadi Presiden…terus katanya Indonesia lepas dari disintegrasi, wah boleh juga ramalannya. Begini saja deh Wong Ndeso, kita tunggu nanti pemilu April 2009 ya, siapa tahu ramalan anda benar kan. Artinya hebat tu…saya suka tu keberanian meramal di forum ini, dan khusus salam panjenengan itu MERDEKA!!!….Tks ya, Salam>Pray.

@Bang Boetje, selama ini PDIP terus berusaha mencari pendamping Mega, benar kalau PDIP juga sudah menjajaki koalisi dengan PKS, tapi kan koalisi 2 partai ribet ya, banyak yg mesti dibahas, yg agak susah koalisi awal adalah bagaimana meredam “ambisi” partai dan “gengsi”. Menurut survei PDIP seperti kata Mas Tjahyo Kumolo, Pak Hidayat NW sepertinya menduduki posisi tertinggi kedua yg pas mendampingi Bu Mega. Jadi kita lihat hasil Rakernas PDIP 26 Januari 2009 nanti okay. Salam>Pray.

@Bang Dicky yg dari Aceh, terima kasih pendapatnya, boleh kok membuat ramalan pasangan, namanya juga perkiraan ya, dari pada ngirim REG RAMAL di Teve, lebih baik meramal disini, saya akan merekam setiap ramalan penanggap tulisan saya, siapa tahu ada yg betul nanti, dengan argumennya masing2 tentunya, nanti kalau pada pilpres Juli 2009 betul…saya akan memberi selamat` dan menayangkan ramalan ybs. Hanya ttg dikotomi dalam jawa-luar jawa saya kira kini konstituen kurang memperhatikan masalah tersebut, mereka lebih cenderung melihat realitas kepantasan masing-masing calon, lebih berat dan fokus kepada personalitas calon dengan kriteria “kejujuran”, “Ketegasan”, “Integritas”, “Visioner” itu kira2 Bang ya, Selamat meramal lagi.Salam>Pray.

@Mas Abi Hasantoso, kok mendadak politik jadi urusan perkawinan? Jadi emosional kok nih Mas Abi, “banyak hati wanita tersakiti”, apa mungkin banyak ya yg membayangkan seperti itu?. Pada takut suaminya kawin lagi kalau meninggal dahulu, apa gitu yg ditangkap nih?. Nah kedepan siapa tahu Sri Sultan akan naik elektabilitasnya, jadi kuda hitam, didukung Golkar…maka tercapailah keinginan Mas Abi ini yang cinta sekali sama Sultan itu .Kita tunggu ya,Salam>Pray.
23. Abi Hasantoso,
— 18 Desember 2008 jam 8:07 am

Pagi, Pak Pray….

Saya pencinta perubahanan. Karena tak ada yang kekal dan abadi selain perubahan.

Dan saya berpendapat bahwa Sri Sultan adalah sang pembawa perubahan.

Jadi, saya tidak cinta sekali sama Sri Sultan. Saya hanya cinta pada perubahan.

Pak Pray suka juga perubahan? Ayo, dukung Sri Sultan!

:)
AH
24. togar pangaribuan,
— 18 Desember 2008 jam 11:53 am

Memang, sudah harus dilupakan soal Jawa dan non Jawa karena masyarakat kebanyakan sudah semakin “MELEK POLITIK”. Artinya, rakyat akan memilih sesuai dengan prestasi yang sudah dicapai oleh sang calon.
Berdasarkan pemikiran hasil pencapaian ini, sulit bagi bu Megawati untuk menang dalam pemilihan presiden, entah sebagai Capres ataupun Cawapres. Akan lebih terhormat kalau bu Megawati menggunakan dana yang dia punya untuk kepentingan rakyat banyak, misalnya membuat Yayasan Pemberi Beasiswa seperti Habibie Center atau lembaga lain yang memberi manfaat langsung. Percuma habis dananya untuk politik sementara banyak rakyat yang tidak bisa bayar uang sekolah apalagi ke Perguruan Tinggi. Sambil mengendalikan Yayasan ini, siapkan Kadernya sehingga 1-2 periode mendatang, sang Kader ini sudah bisa dikenal rakyat dan terbukti dipercaya jadi pemimpin.
Untuk Sultan HB X, saya berharap lain. Meskipun sepertinya ada masalah kecil dengan SBY saat ini, alangkah baiknya Sultan HB X (SHB) maju menjadi Cawapres pasangan dengan SBY sendiri. Untuk jadi No. 1 masih belum “cukup” lah. Jadi, pasangan SBY- SHB akan menggaet banyak pemilih dan sekaligus yang diharapkan rakyat untuk memperbaiki Indonesia ini. Trim’s.
25. Prayitno Ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 3:15 pm

@He,he,he Mas Abi ngajak saya mendukung Sultan? Boleh juga deh…tapi dukung dulu sebagai raja Yogya ya, nanti istri saya marah lagi, dia asli Yogya. Tapi kalau mendukung sebagai capres nanti dulu ah Mas, kan nanti tulisan2 saya jadi tidak netral lagi, Jadi biarlah saya berada disisi netral kemana-mana okay, saya bukan tidak suka perubahan, saya lebih suka apabila negara ini tetaplah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD45, tercapai cita-citanya negara yang makmur sejahtera,gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Tapi saya sangat menghargai pendapatnya kok Mas Abi…Terima kasih ya>Salam.Pray.

@Horas…Bang Togar, baru pertama nih baca tanggapannya, terima kasih dulu ah Bang. Saya setuju kalau masyarakay sudah mulai belajar “melek politik”, artinya sudah semakin pinter kan, jadi mereka akan memilih yg dianggap akan mampu mensejahterakan mereka kan, buat apa memilih pemimpin yg hanya akan menyusahkan. Ttg bu Mega itu komentar Bang Togar sendirilah, awak mau nanggapi Sultan jadi Wakilnya SBY, ya bisa saja sih, tapi kok gambarannya kurang begitu bagus ya, mulai ada friksi, dalam skala kecil…tapi dalam politik apa sih yg tidak mungkin, begitu saya kira, kita tunggu saja perkembangannya.Salam.Pray
26. eepkhunaefi,
— 19 Desember 2008 jam 3:41 am

Menarik juga jika Megabuwono ini benar-benar terjadi. Saya melihat peluangnya 50%:50%. Tapi, apa benar Sultan mau jadi wakilnya Mega. Sebab, saya melihat Sultan lebih cocok jadi Presiden. Toh, selama ini ia tidak pernah menjadi wakil, tapi pemimpin terus.
27. Suroto,
— 19 Desember 2008 jam 11:30 am

Salam Pak Pray,
Maaf Pak kalo lihat situasi begini (kondusif) tentunya saya cenderung Sri Sultan HB X saja yang jadi RI 1 dan cawapresnya mas Prabowo.mudah2an SHB X bisa merangkul semua etnis yang diluar jawa sana sehingga 50% rakyat ini bisa mendukungnya.karena tanpa dukungan dari luar jawa saya kira SHB sulit utk melaju jadi RI 1. kalau Jateng/DIY saya pikir gak masalah buat SHB dan saya bisa ikut berdoa didepan makam Mbah Kiyageng Makukuhan yang ada di Temanggung.tks
28. Prayitno Ramelan,
— 20 Desember 2008 jam 5:34 am

@Mas Eep, Memang kalau psangan ini jadi, akan sangat realistis, secara hitung2an politik, Mega kuat di pulau Jawa, Bali, Lampung dan Wilayah Timur, Sultan sementara ini mendapat dukungan di Jawa. Perlu diingat bahwa populasi pemilih di Jawa mencapai 60%. Menurut pengamat politik Indo Barometer M Qodari, pasangan Megabuwono juga bisa menjadi pasangan yang layak jual karena keduanya mempunyai modal sosial yang kuat.Apalagi, tingkat kepopuleran keduanya sudah tidak diragukan lagi. Masalahnya Mas, Eep tawaran koalisi datang dari PDIP, yang jelas memiliki parpol papan atas, hingga Sultan meu tidak mau harus mengikuti aturan main, lagipula saya kira tim sukses Sultan juga faham kalau menerima lamaran PDIP ya harus mau jadi cawapres. Gitu ya.Pray.

@Mas Suroto, wah kalau melihat kondisi saat ini dimana Sultan tidak memegang kendali Partai, walau beliau kader Golkar kan juga bukan Ketua umum kan, sulit menjodohkan Sultan dan Prabowo. Bisa terjadi , dengan syarat Golkar memang menghendaki demikian dan elektabilitas Sultan tinggi sekali. Begitu ya.Salam>Pray.
29. Abi Hasantoso,
— 20 Desember 2008 jam 9:58 am

Selamaat pagi, Pak Pray….

Lamaran PDIP ditolak saja. Dah terbukti juga, kan, tidak memberi banyak perubahaan untuk rakyat banyak saat dikasih kesempatan memimpin negeri ini? Tjahjo Kumolo dan Pramono Anung itu kan para opportunies lulusan Golkar. Mereka mah maunya gampang. Main jodoh-jodohkan pasangan dengan jagoannya, itu kerjaan mereka sehari-hari.

Sri Sultan juga tak bergantung Golkar, “partai besar bernyali kecil di tengah demokrasi yang aneh” (ini akan jadi judul blog saya untuk obrolan politik yang lagi ramai di kompasiana, tunggu saja, ya, saya sudah pesan kavling sama Mas Pepih).

Sri Sultan sudah didukung rakyat banyak, kok. Dan dukungan itu mengalir dari bawah, bukan rekayasa partai.

Justru nanti partai-partai akan beramai-ramai mendukung Sri Sultan seperti yang sudah dimulai oleh Partai Republikan.

Buat saya, dan mungkin juga kebanyakan rakyat lainnya, Ibu Mega sekali saja cukup jadi presiden. Cukuplah ia jadi pemegang rekor dan tercatat dalam sejarah sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. Ada yang bilang dan meyakini pepatah ini, “Ayam aduan yang sudah kalah, bila diadu kembali sulit untuk menang lagi….”

Jadi, sekali lagi, Sri Sultan naga-naganya bakal menolak pinangan PDIP yang digadang-gadang Tjahjo Kumolo untuk jadi cawapres. Karena kapasitas Sri Sultan, memang, untuk kursi RI 1. Apa yang dikatakan PDIP itu cuma numpang ngetop popularitas Sri Sultan saja yang lagi meninggi menjelang pemilu nanti.

Tahun 2009 kita akan melihat presiden baru. Saya berharap Sultan yang jadi presiden untuk membawa perubahan dan harapan baru untuk Indonesia.

Pak Pray masih ragu?

:)
AH
30. Prayitno Ramelan,
— 20 Desember 2008 jam 11:13 pm

Wah, Ini kata Calon Pengamat Baru nih…Iya deh Mas Abi, kan boleh saja diruang kuliah terbuka ini sebuah gagasan disampaikan, namanya juga suka-suka, iya suka saja ngomong suka politik. Hanya persoalannya Mas Abi ya, mungkin saya sudah kebiasaan membahas dan membuat sebuah bahasan berdasarkan sebuah fakta, jadi maaf saya tidak bisa berandai-andai, lah nanti apa kata teman-teman saya para analis yg jadi silent reader itu pada ngomong, sedikit saja saya keluar dari pakem kami, mereka akan menyuruh saya pindah ke Teve, disuruh bikin REG RAMAl, kan repot saya ya. Maaf lho Mas Abi. Boleh kok anda membuat ramalan bahwa Sultan sebagai yg paling top. Maaf ya, saya kurang sependapat kalau dikatakan PDIP numpang ngetop ke Sultan, karena kalau anda baca tulisan saya yg terakhir (Mega Mulai Mengimbangi SBY) , PDIP mendapat dukungan persepsi publik 31%, sementara Mega mendapat angka 40,7%, ini artinya apa?Artinya keduanya (partai dan capresnya) sudah mempunyai posisi cukup tinggi, partai PDIP posisi pertama, Capres Mega posisi kedua dibawah SBY, bargaining power-nya besar, hanya butuh mencari pendamping yg realistis mempunyai nilai elektabilitas yg tinggi. Kalau nanti Sultan menolak atau pada saat rakernas PDIP 26 Januari 2009 dipandang elektabilitasnya menurun, maka PDIP tidak akan mengambil Sultan, akan mengambil Hidayat Nur Wahid, atau Prabowo atau Wiranto. Maaf ini adalah realitas yg sedang terjadi, bukan saya tidak suka dengan Sultan, tapi fakta yg ada di saya mengatakan seperti itu. Nanti dalam berkoalisi, partai2 papan ataslah yg akan menentukan siapa yg diajak berkoalisi, sementara partai2 kecil hanya akan mengikut diajak saja kok. Begitu ya, maaf kalau ada yg kurang pas dalam pandangan kita, karena kan sama2 jadi pengamat bukan, hanya saya pengamat yg sudah tua nih, suka lupa2, kalau Mas Abi kan masih mudaan ya, he,he,he….maaaf lagi. Ok, terima kasih pendapatnya, saya sangat menghargainya.Salam>Pray.
31. viant,
— 24 Desember 2008 jam 8:13 am

secara pribadi saya belum melihat satu pun pemimpin dan calon pemimpin kita yang tetap mau menjadi rakyat, yang lebih tampak di negeri ini sekarang atau saat ini adalah pemimpin dan calon pemimpin semua punya kepentingan (pribadi, golongan/partai, bahkan keluarga), bagaimana yang akan dia pimpin “rakyat” ini katanya, kita rakyat memang harus memilih pemimpin (terlebih seorang muslim, gak ada istilah golput) tapi belajarlah kita untuk lebih jernih lagi dalam proses mencari pemimpin kita ini, yang menyedihkan kalau nanti terpilih pemimpin yang sama saja pada saat ini (tipenya, caranya, dst…) sama saja rakyat juga yang sedih, sakit karena apa yang dilakukan pemimpinnya, apa kita mau seperti itu terus.., tetap berjuang bersama menjadi Indonesia Raya yang santun lagi kuat dengan mencari dan memilih pemimpin yang dapat sebenar-benarnya memimpin (judul blog nya bagus sekali, mengajak membuka cara berpikir audience lebih luas, terima kasih)
32. prayitno ramelan,
— 24 Desember 2008 jam 9:10 am

@Mas Viant, terim a kasih tanggapannya, swaya kira memang itulah manusia dan dunia politik, selalu yg dimuka adalah masalah kepentingan individual, kelompok , baru kepentingan yg lebih bear mis Kepentingan nasional. Semohga pemimpin yg akan terpilih memang yg akan memperjuangkan kepentingan rakyat,Salam>Pray.
33. Darmanto,
— 24 Desember 2008 jam 11:19 am

siapapun (Mega atau SBY) yang akan jadi presiden, saya meragukan mereka akan mampu meningkatkan kesejahteraan & kehidupan rakyat. 4 tahun pemerintahan SBY tidak ada kebijakan yg memihak dan membela rakyat, baru menjelang pemilu pemerintah membuat kebijakan yg seolah2 membela & mendengarkan aspirasi rakyat. bagi pejabat, kekuasaan merupakan kebutuhan sedangkan bagi rakyat miskin, mengabdi merupakan suatu kewajiban.
34. prayitno ramelan,
— 25 Desember 2008 jam 7:03 am

Mas Darmanto, kok jadi pesimis nih…terus bagaimana dong, karena sementara ini kandidat yg kuat baru kedua tokoh itu. Namanya juga mau dipilih Mas, mesti mengambil langkah mengambil hati, saya kira ya rata2 begitu, kalau berani ambil langkah kontroversi seperti PKS kan menarik perhatian, kalau tidak berani ya pasang iklan dengan gaya merayu…itu lho ngelamar kan harus pintar2, terlebih mau ngelamar hati konstituen yg bebas spt jaman ini….susah. Terima kasih tanggapannya, salam hangat dihari libur ini>Pray.

Kamis, 29 Januari 2009

"7 Maret 1750, lima tahun sebelum Perjanjian Giyanti, yang menjadi landasan bagi berdirinya Kraton Yogyakarta, merupakan tanggal lahir dari Sultan Sepuh. Maka momentum penobatan HB X (Jumenengan Ngarsa Dalem) pada tanggal 7 Maret 1989 dianggap sebagai momentum pembaharuan niat untuk menegakkan tahta untuk kesejahteraan rakyat dan budaya. Dalam hubungan ini, letak relevansinya dimana "Jumenengan" berperan sebagai titik tolak langkah-langkah kebudayaan." (Dr. Damardjati Supadjar, Nawang Sari 1993, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta).
Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X)

Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito yang lahir pada tanggal 2 April 1946, merupakan putra kedua dari Garwa Ampeyan (selir) Kanjeng Raden Ayu Windyaningrum HB IX. Setelah diangkat menjadi Putra Mahkota, beliau diberi gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram".

Latar belakang pendidikan modern BRM Herjuno, menjadi dasar dari segala pemikiran logis beliau. Baik dari keputusan maupun perilaku beliau bertolak ukur pada realitas yang ada. Beliau juga menjadi pendobrak tradisi lama Kraton semenjak penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Kebiasaan raja yang memiliki banyak permaisuri dan selir, tidak lagi diterapkan oleh HB X. beliau hanya memiliki seorang istri yang juga permaisuri. Sedangkan prosesi labuhan alit yang biasanya dilakukan dua kali setahun, oleh HB X prosesi ini hanya dilakukan sekali dalam setahun.

Meski sempat beberapa kali mendapat penolakan, HB X tetap pada pemikiran logisnya, bahkan keputusan menggemparkan beliau untuk membangun taman parkir di bawah Alun-Alun Utara yang mendapat penolakan keras dari rakyat dan abdi dalem.

Pemikiran modern HB X tidak sepenuhnya lepas dari peran sang ayah. Ayahnya yang merupakan raja terdahulu telah memberikan pemahaman modern dan persamaan dalam derajat manusia.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX)

GRM Dorojatun yang lahir pada tanggal 12 April 1912 merupakan putra tunggal dari Kanjeng Ratu Ayu Adipati Anom (KRAy.AA) Hamengkunegoro.

Sejak usia 4 tahun, Dorojatun telah terpisah dengan keluarga. Beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, untuk mendapat pendidikan penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana meskipun beliau seorang Putra Mahkota.

Setahun setelah kepulangannya dari menuntut ilmu di Belanda, tepatnya tanggal 18 Maret 1940, beliau naik tahta dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX". Gelar ini bermakna, Sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini, beliau juga mempunyai kekuasaan untuk angkatan perang serta panglima tertinggi pada saat terjadi peperangan. Selain itu Sultan juga sebagai penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai kalifatullah, wakil Muhammad Rasul Allah.

HB IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pendidikan barat yang ditempuhnya sejak kecil, memberikan banyak alternatif budaya. Beliau juga mengubah tradisi lama, dimana raja bukan lagi pengendali kekuasaan melainkan pemimpin yang demokratis. Jasa-jasa beliau terhadap Negara Republik Indonesiapun layak untuk dikenang.

Tanggal 7 Oktober 1988 jasad beliau sampai di Kraton setelah menghembuskan nafas terakhir di Washington DC, Amerika Serikat. Kraton dan rakyat Yogyakarta serta Bangsa Indonesia berduka. Seakan larut dalam suasana bela sungkawa, Kiai Dewa-n-Daru (pohon beringin yang ditanam pada masa HB I) tumbang dan jatuh ke tanah. "Hal ini seakan mengisyaratkan babak baru dalam Panggung Kebudayaan Nusantara." Pohon beringin ini bisa dilihat di Alun-Alun Utara yang ditanam kembali atas perkenan dari HB X. Ukurannya kini lebih kecil dari Kiai Wijayadaru di sebelah timurnya. Gambarnya bisa dilihat di dokumentasi YogYES.

HB IX dimakamkan di Pasareyan Pajimatan Imogiri.
Kerajaan Mataram Yogyakarta di Tengah Modernisasi

Dalam masa kejayaannya, Kerajaan Mataram pernah mengembangkan konsep politik keagungbintaraan, yakni kekuasaan raja besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama (agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg, adil para marta).

Mataram Yogyakarta saat ini melalui kesamaan derajat dan pemikiran demokratis sebagai konsep politik yang diemban Kraton, menjadi dasar bagi Sultan untuk menggerakkan roda pemerintahan Yogyakarta. (YogYES.COM)

Perjalanan Sultan Hamengkubuwono X

Oleh : Ki Semar
29-Jan-2009, 22:38:10 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Yogyakarta juga merupakan daerah yang tidak mampu ditembus oleh budaya barat, masyarakat Yogyakarta masih berpegang teguh pada sendi-sendi kehidupan etika Jawa.

Dalam sendi kehidupan yang demikian Sri Sultan Hamengku Bowono X dilahirkan, dan dibesarkan. Sri Sultan dilahirkan dengan nama BENDORO RADEN MAS HERJUNO DARPITO pada tanggal 2 April 1946.

Sesuai dengan tradisi yang berlaku di lingkungan Kraton Yogyakarta, maka Sri Sultan mengalami beberapa anugerah nama sesuai tingkat kedewasaan serta trahnya sebagai Putera Mahkota. Beberapa nama yang pernah disandangnya diantaranya: Kanjeng Gusi Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putera Nalendra Mataram. Dan yang sangat penting dalam hidupnya adalah pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan berhak menyandang Gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menggantikan ayahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Disisi pemerintahan Sri Sulta HB X dipercaya untuk untuk menjabat Gubernur DIY sejak 3 Oktober 1998.

Jabatan sebagai Raja di lingkup Kraton Ngayogyakarta serta Gubernur DIY menjadikan Sri Sultan HB X memiki fenomena tersendiri dibanding tokoh Politik dan Pejabat Pemerintah lainnya. Jabatan sebagai Raja di Kraton Ngayogyakarta tidak membuat Sri Sultan membuat mebuat garis pemisah antara dirinya dan rakyat, tetapi justru Jabatan tersebut dijadikan oleh Sri Sultan HB X sebagai tali pengikat antara dia dan rakyatnya. Dari segi Kharisma, jabatan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jauh lebih mendominasi dibanding Jabatan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap seorang Raja jauh di atas Jabatan apapun yang ada di Negeri ini. Termasuk di dalamnya Jabatan Presiden RI sekalipun.

Ditinjau dari fakta yang tertuang diawal tulisan ini maka titik tolak kehidupani Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki kesamaan dengan KH. ABDURRAHMAN WAHID. Perbedaannya hanya terletak pada lingkup dimana 2 tokoh ini di besarkan serta membangun kharismanya. Bila Sri Sultan dibesarkan dan membangun Kharismanya di lingkup Kraton maka KH. Abdurrhaman Wahid dibesarkan dan menggali kharismya di lingkungan Pesantren.

Untuk lebih mengarahkan artikel ini maka sejenak kita analisa siapa KH Abdurrahman Wahid sebenarnya: Gus Dur adalah Putera dari KH. Wahid Hasyim. Dia juga cucu KH. Hasyim Asy’ari. Ayah dan kakek Gus Dur merupakan ulama yang berkharisma sangat besar. Pada awal kiprahnya di Pentas Nasional Gus Dur merupakan sosok yang penuh Pesona. Jabatan sebagai Ketua Umum Nahdataul Ulama periode 1984 sampai 1999 semakin menjadikannya sebagai tokoh yang di segani di Pentas Politik Nasional. Terdorong oleh ambisi pribadi yang terlalu jauh maka Gus Dur mencoba melebarkan sayap di Panggung Politik Nasional. Diawali sebagai salah satu Deklarator PKB Gus Dur semakin berambisi ke jenjang yang lebih tingggi. Jabatan Presiden RI menjadi target utamanya.

Pada titik klimaks inilah kehancuran nama besar Gus Dur bermula. Sebagai pemersatu ummat Islam khususnya Nahdatul Ulama, berubah menjadi tokoh yang justru sering menjadi cikal bakal perpecahan ummat Islam di Indonesia. Banyak sekali Gus Dur melontarkan bola-bola panas di tengah umat Islam. Bila pada awalnya Gus Dur merupakan sosok yang dihormati dan disegani maka saat ini keadaan menjadi bertolak belakang. Gus Dur menjadi tokoh yang sarat dengan makian dan umpatan. Suaranya tak lagi banyak didengar. Dan yang lebih tragis adalah berbagai kecaman pedas, dan hinaan justru banyak datang dari kalangan yang pernah begitu hormat kepadanya.

Gus Dur di ambang kehancuran. Kursi Kepresiden sangat sulit dia raih. Akan kembali ke dunia Nahdatul Ulama, banyak tokoh yang menolaknya. Dalam hal ini jangan mencari siapa yang salah, karena semua dampak dari ambisi Gus Dur yang tak terkendali.

Perjalanan karir Gus Dur nampaknya akan menimpa Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beberapa waktu terakhir ini, Sri Sultan gencar mempersiapkan diri sebagai Capres 2009. Dengan penuh optimisme Sri Sultan banyak turun ke daerah-daerah sebagai barometer awal langkahnya menuju RI 1. Tawaran PDIP untuk kursi Cawapres mendampingi Megawati juga ditolak oleh Sri Sultan. Tekatnya hanya satu : Menjadi CAPRES 2009 bukan CAWAPRES 2009. Kegagalan seta kehancuran GUS DUR tidak menjadi pelajaran yang berarti bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Ada dua definisi kepemimpinan yang terabaikan oleh Sri Sultan HB X dan Gus Dur, yaitu:

Pemimpin Sektoral: Pemimpin yang hadir di lingkup lingkungan tertentu dimana Power Kepemimpinan serta Kharisma yang dimiliki disebabkan oleh faktor darah atau keturunan. Pemimpin dengan kategori ini justru akan menjadi lebih besar bila tetap berada pada lingkungan tersebut. Baik berupa lingkungan Kraton maupun lingkungan Pesantren yang membesarkannya.

Pemimpin Nasional: Pemimpin yang masuk dalam katagori ini adalah seseorang yang membangun Power Kepemimpinan serta Kharismanya berdasarkan apa yang ada pada dirinya, bukan pada faktor ayah, kakek dan lain sebagainya. Bahkan tokoh ini akan lahir dari suatu keluarga yang sangat sederhana dan tidak memiliki power serta kharisma apapun. Power serta Kharisma dia peroleh mengikuti perjalanan hidupnya. Sebagai data real coba kita analisa latar belakang ketiga Presiden ini, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden SBY merupakan tiga figur yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki power dan kharisma. Semua power dan kharisma diperoleh melalui perjuangan bukan warisan.

Sri Sultan Hamengku Buwono tidak akan memperoleh Power serta Kharisma yang demikian apabila dia bukan Putera Hamengku Buwono IX. Dia memiliki Power untuk wilayah Yogyakarta maksimal untuk wilayah Pulau Jawa. Dan dia tidak akan memiliki Power serta Kharisma di luar Pulau Jawa. Andai pun kursi Kepresiden akan berhasil diraihnya, maka selama lima tahun Sri Sultan harus siap untuk menerima berbagai kritik, celaan, demo sampai pada penolakan kedatangannya pada suatu daerah tertentu, dan tidak mustahil hal itu akan datang dari para Mahasiswa UGM yang sering melakukan penolakan atas kedatangan seorang Presiden. Bisa dibayangkan betapa pedih dan tragisnya perasaan Sri Sultan. Tetapi apabila Kharisma Sri Sultan di Yogyakarta tetap tinggi, maka akan terjadi perang saudara antara masyarakat DIY dan masyarakat Propinsi lain apabila terjadi demo dan kritikan terhadap Sri Sultan HB X yang datangnya dari wilayah di luar Propinsi DIY. Perang saudara bukan karena membela seorang Presiden RI, tetapi karena pembelaan terhadap wibawa Raja Kraton Ngayogyakarta. Hal ini tentu menjadi suatu hal yang menyulitkan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri.

Melihat tantangan ke depan, semua akan berpulang kepada diri Sri Sultan Hamengku Buwono X. Satu hal yang perlu menjadi catatan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah karakteristik masyarakat dan pemuda, khususnya para Mahasiswa yang ada di Indonesia adalah Bangsa Indonesia mempunyai ciri khas untuk menghujat Presiden yang berkuasa, tetapi akan memuja bagaikan Dewa bila mantan Presiden telah tiada.


Sri Sultan HB X Santri Politik Gus Dur
Oleh : Ki Semar
29-Jan-2009, 15:50:18 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Yogyakarta merupakan provinsi teristimewa yang memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki daerah-daerah lain. Yogyakarta juga merupakan daerah yang tidak mampu ditembus oleh budaya barat, masyarakat Yogyakarta masih berpegang teguh pada sendi-sendi kehidupan etika Jawa.

Dalam sendi kehidupan yang demikian Sri Sultan Hamengku Bowono X dilahirkan dan dibesarkan. Sri Sultan dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946. Sesuai dengan tradisi yang berlaku di lingkungan Kraton Yogyakarta, maka Sri Sultan mengalami beberapa anugerah nama sesuai tingkat kedewasaan serta trahnya sebagai putera mahkota.

Beberapa nama yang pernah disandangnya diantaranya: Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi, KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putera Nalendra Mataram. Dan yang sangat penting dalam hidupnya adalah pada tanggal 7 Maret 1989 ( Selasa Wage 19 Rajab 1921) dinobatkan sebagai raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan berhak menyandang gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Ia menggantikan posisi ayahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di sisi pemerintahan Sri Sultan HB X dipercaya untuk untuk menjabat Gubernur DIY sejak 3 Oktober 1998. Jabatan sebagai raja di lingkup Kraton Ngayogyakarta serta Gubernur DIY menjadikan Sri Sultan HB X memiki fenomena tersendiri dibanding tokoh politik dan pejabat pemerintah lainnya. Jabatan sebagai Raja Kraton Ngayogyakarta tidak membuat Sultan membikin garis pemisah antara dirinya dan rakyat,. Tetapi justru jabatan tersebut dijadikan oleh Sri Sultan HB X sebagai tali pengikat antara dia dan rakyatnya.

Dari segi kharisma, jabatan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jauh lebih mendominasi dibanding jabatan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap seorang raja jauh di atas jabatan apapun yang ada di negeri ini. Termasuk di dalamnya jabatan Presiden RI sekalipun. Di tinjau dari fakta yang tertuang di awal tulisan ini maka titik tolak kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki kesamaan dengan KH Abdurragman Wahid.

Perbedaannya hanya terletak pada lingkup di mana 2 tokoh ini dibesarkan serta membangun kharismanya masing-masing. Bila Sri Sultan dibesarkan dan membangun kharismanya di lingkup Kraton maka KH.Abdurrhaman Wahid dibesarkan dan menggali kharismya di lingkungan pesantren. Untuk lebih mengarahkan artikel ini maka sejenak kita analisa siapa KH Abdurrahman Wahid sebenarnya: Gus Dur adalah putera dari KH Wahid Hasyim. Dia juga cucu KH.Hasyim Asy’ari. Ayah dan kakek Gus Dur merupakan ulama yang berkharisma sangat besar. Pada awal kiprahnya di pentas nasional Gus Dur merupakan sosok yang penuh pesona.

Jabatan sebagai Ketua Umum Nahdataul Ulama periode 1984 sampai 1999 semakin menjadikannya sebagai tokoh yang disegani di pentas politik nasional. Terdorong oleh ambisi pribadi yang terlalu jauh maka Gus Dur mencoba melebarkan sayap di panggung politik nasional. Diawali sebagai salah satu deklarator PKB Gus Dur semakin berambisi ke jenjang yang lebih tingggi. Jabatan Presiden RI menjadi target utamanya. Pada titik klimaks inilah kehancuran nama besar Gus Dur bermula. Sebagai pemersatu umat Islam khususnya Nahdatul Ulama, berubah menjadi tokoh yang justru sering menjadi cikal bakal perpecahan ummat Islam di Indonesia. Banyak sekali Gus Dur melontarkan bola bola panas di tengah ummat Islam. Bila pada awalnya Gus Dur merupakan sosok yang dihormati dan disegani maka saat ini keadaan menjadi bertolak belakang.

Gus Dur menjadi tokoh yang sarat dengan makian dan umpatan. Suaranya tak lagi banyak didengar. Dan yang lebih tragis adalah berbagai kecaman pedas, dan hinaan justru banyak datang dari kalangan yang pernah begitu hormat kepadanya. Gus Dur diambang kehancuran. Kursi Kepresiden sangat sulit diraih. Akan kembali ke dunia Nahdatul Ulama, banyak tokoh yang menolaknya. Dalam hal ini jangan mencari siapa yang salah, karena semua dampak dari ambisi Gus Dur yang tak terkendali. Perjalanan karir Gus Dur nampaknya akan menimpa Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beberapa waktu terakhir ini, Sri Sultan gencar mempersiapkan diri sebagai Capres 2009. Dengan penuh optimisme Sri Sultan banyak turun ke daerah-daerah sebagai barometer awal langkahnya menuju RI 1. Tawaran PDIP untuk kursi Cawapres mendampingi Megawati juga ditolak oleh Sri Sultan. Tekatnya hanya satu: menjadi Capres 2009 bukan Cawapres 2009. Kegagalan seta kehancuran Gus Dur tidak menjadi pelajaran yang berarti bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ada 2 definisi kepemimpinan yang terabaikan oleh Sri Sultan HB X dan Gus Dur yaitu:Pemimpin sektoral: pemimpin yang hadir di lingkup lingkungan tertentu dimana Power Kepemimpinan serta Kharisma yang dimiliki disebabkan oleh faktor darah atau keturunan. Pemimpin dengan katagori ini justru akan menjadi lebih besar bila tetap berada pada lingkungan tersebut. Baik berupa lingkungan Kraton maupun lingkungan Pesantren yang membesarkannya. Pemimpin nasional: pemimpin yang masuk dalam katagori ini adalah seseorang yang membangun Power Kepemimpinan serta Kharismanya berdasarkan apa yang ada pada dirinya, bukan pada faktor ayah, kakek dan lain sebagainya.

Bahkan tokoh ini akan lahir dari suatu keluarga yang sangat sederhana dan tidak memiliki power serta kharisma apapun. Power serta kharisma dia peroleh mengikuti perjalanan hidupnya. Sebagai data real coba kita analisa latar belakang 3 presiden ini, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden SBY merupakan 3 figur yang berasal dari kekuarga yang tidak memiliki power dan kharisma. Semua power dan kharisma diperoleh melalui perjuangan bukan warisan. Sri Sultan Hamengku Buwono tidak akan memperoleh power serta kharisma yang demikian apabila dia bukan Putera Hamengku Buwono IX. Dia memiliki power untuk wilayah Yogyakarta maksimal untuk wilayah pulau Jawa. Dan dia tidak akan memiliki Ppwer serta Kharisma di luar pulau Jawa. Andaipun kursi kepresidenan akan berhasil diraihnya, maka selama 5 tahun Sri Sultan harus siap untuk menerima berbagai kritik, celaan, demo sampai pada penolakan kedatangannya pada suatu daerah tertentu, dan tidak mustahil hal itu akan datang dari para mahasiswa UGM yang sering melakukan penolakan atas kedatangan seorang Presiden.
Bisa di bayangkan betapa pedih dan tragisnya perasaan Sri Sultan.

Tetapi apabila kharisma Sri Sultan di Yogyakarta tetap tinggi, maka akan terjadi perang saudara antara masyarakat DIY dan masyarakat Propinsi lain apa bila terjadi demo dan kritikan terhadap Sri Sultan HB X yang datangnya dari wilayah diluar Propinsi DIY. Perang saudara bukan karena membela seorang Presiden RI tetapi karena pembelaan terhadap wibawa Raja Kraton Ngayogyakarta. Hal ini tentu menjadi suat hal yang menyulitkan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri. Melihat tantangan ke depan, semua akan berpulang kepada diri Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Satu hal yang perlu menjadi catatan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah karakteristik masyarakat dan pemuda khususnya para mahasiswa yang ada di Indonesia adalah: bangsa Indonesia mempunyai ciri khas untuk menghujat presiden yang berkuasa, tetapi akan memuja bagaikan dewa bila mantan tersebut Presiden telah tiada.